Saat ini aku merasa benar-benar terbuang, bukan hanya terbuang melainkan juga terpuruk di jurang terdalam.
Keputusan ayah yang tidak mengijinkanku untuk menikah dengan Heri benar-benar membuatku terpukul.Masih jelas dalam ingatanku ucapan ayah tempo hari “ Susah payah ayah membesarkanmu, kenapa sekarang kamu melawan ucapan ayah?”“ Ayah tidak ingin reputasi ayah sebagai anggota dewan hancur!”lanjut ayah.“ Karena Siswi?”tanyaku.“ Bukan karena kamu, tapi karena Heri calon suamimu!”“ Kenapa dengan Heri?” “ Apa yang kamu harapkan dari Heri? Tiap hari kerjanya cuma demonstrasi menentang kebijakan pemerintah,”
Ya. Heri memang seorang aktivis di suatu lembaga swadaya masyarakat. Sejak kuliah, dia sering melakukan demonstrasi, hal ini berlanjut sampai dia lulus kuliah. Tiap hari kerjanya hanya baca koran, lihat berita di tv dan diskusi dengan sesama aktivis.Bila ada kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, dapat dipastikan Heri akan berada di barisan terdepan.
Sedang ayah, sebagai anggota dewan tentu tidak ingin calon menantunya berseberangan ideologi. Mungkin karena hal itu ayah tidak setuju aku menikah dengan Heri. Pernah suatu ketika, ayah memaksaku agar menikah dengan Thomas. Anak dari teman ayah. Namun dengan tegas kutolak.
Sebagai seorang perempuan dewasa, aku tahu mana yang baik, mana yang buruk. Sebagai perempuan merdeka aku ingin menentukan nasibku sendiri. Bukankah masa depanku seluruhnya terletak di tanganku? Bukan di tangan ayah, bukan pula di tangan Heri ketika aku menikah dengannya kelak.Akhirnya aku memilih untuk mengikuti nuraniku. Aku tetap memilih Heri sebagai calon suamiku. Bukan Thomas, bukan pula laki-laki lain yang sering ditawarkan ayah untuk menjadi suamiku.
Mendengar keputusanku, ayah marah besar. Hari itu aku diusir dari rumah. Ayah lebih memilih kehilangan anaknya daripada kehilangan jabatannya. Sejenak pikiranku kalut, apa yang harus kulakukan ketika harus meninggalkan rumah?Heri. Ya…Tempat kos Heri menjadi tujuanku. Kuputuskan untuk pergi ke sana, pasti ia bisa membantuku.
Ternyata Heri tidak ada di kosnya. Kata teman satu kos, Heri pergi bersama dua orang yang baru pertama kali terlihat datang ke tempat kos.“ Siapa mereka?”tanyaku menyelidik.“ Tidak tahu Mbak, sepertinya baru pertama kali datang kemari.”Aku mulai resah.
Kuputuskan untuk menelepon Heri, ternyata Hp-nya mati. Apa yang terjadi dengannya?“ Mbak, dua orang tadi tampangnya seperti preman,”Aku semakin galau dengan penjelasan itu. Seribu tanya berkecamuk dalam otakku. Benarkah dua orang itu preman? Atau, tukang pukul yang sengaja disewa seseorang untuk menghabisi Heri?
Kupercepat langkah untuk kembali ke rumah. Bukan untuk minta belas kasihan ayah, melainkan untuk mencari kebenaran.“ Ayah, Heri diculik. Seseorang telah menyewa preman untuk melakukan penculikan itu.”Kulihat dahi ayah berkerut, ayah diam. Kemudian tiba-tiba,” Baguslah kalau begitu, sekarang tidak ada lagi orang yang berlagak sok pahlawan.” suara ayah terdengar pelan namun tajam menusuk jantung.“ Kenapa Ayah berkata seperti itu? Mana nurani Ayah sebagai seorang anggota dewan. Atau, mungkin Ayah sudah tidak punya nurani lagi?” tanyaku penuh amarah.
Kembali ayah terdiam, namun senyumnya yang sinis terlihat jelas dari raut mukanyaKemana aku harus mencari keadilan? Sudah tidak adakah keadilan di negeri ini?Kulangkahkan kaki keluar, kubanting pintu rumah dengan keras. Ayah diam. Ternyata ayah memang benar-benar telah merelakan kepergianku. Kenapa ayah tidak mencegahku ketika aku meninggalkan rumah?Tidak kupikirkan lagi tentang ayah.
Yang ada dipikiranku hanya Heri. Aku harus mencari keadilan, bukan hanya untuk Heri namun juga untuk diriku dan untuk semua orang.Kembali pikiranku kalut, kemana aku harus melangkahkan kaki. Joko, Agus dan Karim, orang yang selama ini kukenal dekat dengan Heri tidak mengetahui keberadaan Heri. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Kantor polisi akhirnya menjadi harapanku terakhir. Aku berharap menemukan jawaban. Kuceritakan panjang lebar tentang apa yang terjadi. Namun hasilnya nihil, mereka berjanji akan menyelidiki kasus ini.Dalam kegalauan, diriku membayangkan yang bukan-bukan. Mungkinkah Heri menjadi korban kekuasaan penguasa? Seperti Marsinah atau Wiji Thukul? Bukankah mereka juga aktivis?Namun kubuang jauh-jauh pikiran burukku. Kuyakinkan hatiku semua akan baik-baik saja.
***
Aku mengenal Heri ketika masuk semester empat masa kuliah. Penampilannya yang apa adanya membuatku tertarik. Apalagi wawasan dan pemikirannya yang jauh kedepan, membuatku semakin jatuh hati.Waktu itu, aku sering melihat Heri menjadi penggerak bagi rekan-rekan mahasiswa.
Terik matahari tak pernah dihiraukannya. Tak terhitung berapa kali kepala, tangan dan kakinya terkena pentungan petugas. Namun semuanya tak pernah Heri rasakan. Baginya, apa yang dirasakan rakyat melebihi penderitaan yang ia rasakan.Heri sering mengajarkan kalau hidup itu adalah perjuangan dan pengorbanan. Hidup tidak hanya untuk saat ini, tapi juga kelak. Hidup adalah untuk generasi penerus.
Namun, ternyata cintaku tidak mendapat restu dari ayah. Ayah ingin agar aku mencari calon suami yang rajin kuliah, bukan yang rajin demonstrasi.
***
Tiga bulan sudah berlalu sejak menghilangnya Heri. Belum ada kabar tentang keberadaannya. Keberadaan Heri masih gelap kurasakan. Tidak ada secerah harapan dimana Heri berada. Meskipun begitu aku masih berharap dia selamat dan kembali untuk berjuang bersama lagi.
Dalam kesendirianku, banyak laki-laki yang mencoba mendekati, merayuku untuk menerima cinta. Namun semuanya kutolak. Apa yang akan terjadi seandainya aku menerima cinta mereka. Apa yang akan kukatakan pada Heri ketika bertemu kelak?Saat ini, aku bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan swasta. Dengan modal wajah yang lumayan cantik ditambah ijasah sarjana membuatku lolos seleksi tes masuk.Sejak pertengkaran dengan ayah tempo hari. Aku tidak lagi tinggal serumah dengan ayah. Aku memilih kos sebagai tempat tinggal.
***
Hari itu aku pulang agak terlambat karena ada kerja lembur. Semburat merah memancar di kaki langit di ufuk barat. Awan tipis menggantung di langit yang mulai gelap.Segera kurebahkan tubuhku di kamar. Lelah kurasakan menjalar di seluruh sendi tubuh.
Kunyalakan tv untuk menghilangkan kepenatan.Baru beberapa menit melihat tv, tiba-tiba tubuhku berguncang hebat. Darahku seakan berhenti mengalir. Kulihat jelas di tv, berita tentang seorang anggota dewan yang menjadi buronan polisi karena menjadi dalang pembunuhan. Terpampang jelas foto yang tidak asing lagi bagiku. Foto Drs. Johan Prakoso, ayahku. Di tv juga diberitakan kalau korban pembunuhan adalah seorang aktivis pergerakan, Heriyanto.Heriyanto, dialah orang yang selama tiga bulan ini aku cari. Dialah calon suamiku, calon ayah dari anak-anakku kelak.
Ternyata ayah yang menjadi dalang dibalik hilangnya Heri. Ayah yang telah menyewa preman untuk menculik dan kemudian membunuh Heri. Kenapa ayah tega melakukan semua ini?Aku tidak menyangka ternyata aku adalah anak dari seorang pembunuh.
Aku yang selama ini gencar meneriakkan keadilan, ternyata harus menerima keadaan menyesakkan ini. Apa yang harus kukatakan pada teman-teman sekantorku, pada suamiku, pada anak-anakku kelak. Dan, terutama pada Heri kalau aku anak dari seorang dalang pembunuhan.Awan tipis yang sejak tadi menggantung di langit mulai tampak gelap. Mungkin sebentar lagi hujan turun membasahi bumi. Kini langit benar-benar telah mendung.
Keputusan ayah yang tidak mengijinkanku untuk menikah dengan Heri benar-benar membuatku terpukul.Masih jelas dalam ingatanku ucapan ayah tempo hari “ Susah payah ayah membesarkanmu, kenapa sekarang kamu melawan ucapan ayah?”“ Ayah tidak ingin reputasi ayah sebagai anggota dewan hancur!”lanjut ayah.“ Karena Siswi?”tanyaku.“ Bukan karena kamu, tapi karena Heri calon suamimu!”“ Kenapa dengan Heri?” “ Apa yang kamu harapkan dari Heri? Tiap hari kerjanya cuma demonstrasi menentang kebijakan pemerintah,”
Ya. Heri memang seorang aktivis di suatu lembaga swadaya masyarakat. Sejak kuliah, dia sering melakukan demonstrasi, hal ini berlanjut sampai dia lulus kuliah. Tiap hari kerjanya hanya baca koran, lihat berita di tv dan diskusi dengan sesama aktivis.Bila ada kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, dapat dipastikan Heri akan berada di barisan terdepan.
Sedang ayah, sebagai anggota dewan tentu tidak ingin calon menantunya berseberangan ideologi. Mungkin karena hal itu ayah tidak setuju aku menikah dengan Heri. Pernah suatu ketika, ayah memaksaku agar menikah dengan Thomas. Anak dari teman ayah. Namun dengan tegas kutolak.
Sebagai seorang perempuan dewasa, aku tahu mana yang baik, mana yang buruk. Sebagai perempuan merdeka aku ingin menentukan nasibku sendiri. Bukankah masa depanku seluruhnya terletak di tanganku? Bukan di tangan ayah, bukan pula di tangan Heri ketika aku menikah dengannya kelak.Akhirnya aku memilih untuk mengikuti nuraniku. Aku tetap memilih Heri sebagai calon suamiku. Bukan Thomas, bukan pula laki-laki lain yang sering ditawarkan ayah untuk menjadi suamiku.
Mendengar keputusanku, ayah marah besar. Hari itu aku diusir dari rumah. Ayah lebih memilih kehilangan anaknya daripada kehilangan jabatannya. Sejenak pikiranku kalut, apa yang harus kulakukan ketika harus meninggalkan rumah?Heri. Ya…Tempat kos Heri menjadi tujuanku. Kuputuskan untuk pergi ke sana, pasti ia bisa membantuku.
Ternyata Heri tidak ada di kosnya. Kata teman satu kos, Heri pergi bersama dua orang yang baru pertama kali terlihat datang ke tempat kos.“ Siapa mereka?”tanyaku menyelidik.“ Tidak tahu Mbak, sepertinya baru pertama kali datang kemari.”Aku mulai resah.
Kuputuskan untuk menelepon Heri, ternyata Hp-nya mati. Apa yang terjadi dengannya?“ Mbak, dua orang tadi tampangnya seperti preman,”Aku semakin galau dengan penjelasan itu. Seribu tanya berkecamuk dalam otakku. Benarkah dua orang itu preman? Atau, tukang pukul yang sengaja disewa seseorang untuk menghabisi Heri?
Kupercepat langkah untuk kembali ke rumah. Bukan untuk minta belas kasihan ayah, melainkan untuk mencari kebenaran.“ Ayah, Heri diculik. Seseorang telah menyewa preman untuk melakukan penculikan itu.”Kulihat dahi ayah berkerut, ayah diam. Kemudian tiba-tiba,” Baguslah kalau begitu, sekarang tidak ada lagi orang yang berlagak sok pahlawan.” suara ayah terdengar pelan namun tajam menusuk jantung.“ Kenapa Ayah berkata seperti itu? Mana nurani Ayah sebagai seorang anggota dewan. Atau, mungkin Ayah sudah tidak punya nurani lagi?” tanyaku penuh amarah.
Kembali ayah terdiam, namun senyumnya yang sinis terlihat jelas dari raut mukanyaKemana aku harus mencari keadilan? Sudah tidak adakah keadilan di negeri ini?Kulangkahkan kaki keluar, kubanting pintu rumah dengan keras. Ayah diam. Ternyata ayah memang benar-benar telah merelakan kepergianku. Kenapa ayah tidak mencegahku ketika aku meninggalkan rumah?Tidak kupikirkan lagi tentang ayah.
Yang ada dipikiranku hanya Heri. Aku harus mencari keadilan, bukan hanya untuk Heri namun juga untuk diriku dan untuk semua orang.Kembali pikiranku kalut, kemana aku harus melangkahkan kaki. Joko, Agus dan Karim, orang yang selama ini kukenal dekat dengan Heri tidak mengetahui keberadaan Heri. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Kantor polisi akhirnya menjadi harapanku terakhir. Aku berharap menemukan jawaban. Kuceritakan panjang lebar tentang apa yang terjadi. Namun hasilnya nihil, mereka berjanji akan menyelidiki kasus ini.Dalam kegalauan, diriku membayangkan yang bukan-bukan. Mungkinkah Heri menjadi korban kekuasaan penguasa? Seperti Marsinah atau Wiji Thukul? Bukankah mereka juga aktivis?Namun kubuang jauh-jauh pikiran burukku. Kuyakinkan hatiku semua akan baik-baik saja.
***
Aku mengenal Heri ketika masuk semester empat masa kuliah. Penampilannya yang apa adanya membuatku tertarik. Apalagi wawasan dan pemikirannya yang jauh kedepan, membuatku semakin jatuh hati.Waktu itu, aku sering melihat Heri menjadi penggerak bagi rekan-rekan mahasiswa.
Terik matahari tak pernah dihiraukannya. Tak terhitung berapa kali kepala, tangan dan kakinya terkena pentungan petugas. Namun semuanya tak pernah Heri rasakan. Baginya, apa yang dirasakan rakyat melebihi penderitaan yang ia rasakan.Heri sering mengajarkan kalau hidup itu adalah perjuangan dan pengorbanan. Hidup tidak hanya untuk saat ini, tapi juga kelak. Hidup adalah untuk generasi penerus.
Namun, ternyata cintaku tidak mendapat restu dari ayah. Ayah ingin agar aku mencari calon suami yang rajin kuliah, bukan yang rajin demonstrasi.
***
Tiga bulan sudah berlalu sejak menghilangnya Heri. Belum ada kabar tentang keberadaannya. Keberadaan Heri masih gelap kurasakan. Tidak ada secerah harapan dimana Heri berada. Meskipun begitu aku masih berharap dia selamat dan kembali untuk berjuang bersama lagi.
Dalam kesendirianku, banyak laki-laki yang mencoba mendekati, merayuku untuk menerima cinta. Namun semuanya kutolak. Apa yang akan terjadi seandainya aku menerima cinta mereka. Apa yang akan kukatakan pada Heri ketika bertemu kelak?Saat ini, aku bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan swasta. Dengan modal wajah yang lumayan cantik ditambah ijasah sarjana membuatku lolos seleksi tes masuk.Sejak pertengkaran dengan ayah tempo hari. Aku tidak lagi tinggal serumah dengan ayah. Aku memilih kos sebagai tempat tinggal.
***
Hari itu aku pulang agak terlambat karena ada kerja lembur. Semburat merah memancar di kaki langit di ufuk barat. Awan tipis menggantung di langit yang mulai gelap.Segera kurebahkan tubuhku di kamar. Lelah kurasakan menjalar di seluruh sendi tubuh.
Kunyalakan tv untuk menghilangkan kepenatan.Baru beberapa menit melihat tv, tiba-tiba tubuhku berguncang hebat. Darahku seakan berhenti mengalir. Kulihat jelas di tv, berita tentang seorang anggota dewan yang menjadi buronan polisi karena menjadi dalang pembunuhan. Terpampang jelas foto yang tidak asing lagi bagiku. Foto Drs. Johan Prakoso, ayahku. Di tv juga diberitakan kalau korban pembunuhan adalah seorang aktivis pergerakan, Heriyanto.Heriyanto, dialah orang yang selama tiga bulan ini aku cari. Dialah calon suamiku, calon ayah dari anak-anakku kelak.
Ternyata ayah yang menjadi dalang dibalik hilangnya Heri. Ayah yang telah menyewa preman untuk menculik dan kemudian membunuh Heri. Kenapa ayah tega melakukan semua ini?Aku tidak menyangka ternyata aku adalah anak dari seorang pembunuh.
Aku yang selama ini gencar meneriakkan keadilan, ternyata harus menerima keadaan menyesakkan ini. Apa yang harus kukatakan pada teman-teman sekantorku, pada suamiku, pada anak-anakku kelak. Dan, terutama pada Heri kalau aku anak dari seorang dalang pembunuhan.Awan tipis yang sejak tadi menggantung di langit mulai tampak gelap. Mungkin sebentar lagi hujan turun membasahi bumi. Kini langit benar-benar telah mendung.
Komentar
Posting Komentar